Place your ads here 468x60 px

Monday, March 19, 2012

Freeport Roadshow ke Media Massa


Peraturan Presiden (PP) No 24 Tahun 2012, tampaknya telah membuat pemilik Freeport McMoRan Copper & Gold Inc kebakaran jenggot.

Maka James Moffet, sang pemilik perusahaan pertambangan emas dan tembaga terkaya di Indonesia itu pun mengutus manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk mengunjungi sejumlah kantor media cetak di Jakarta. Tujuannya hanya satu, yakni ‘melawan secara halus’ PP yang telah diteken Presiden Susilo Bambang Yudhonono paca 21 Februari lalu.

Dalam seiap kunjungan, rombongan yang dipimpin langsung oleh Rozik B Soetjipto (Presdir PTFI) itu selalu menekankan peran Freeport dalam menyumbangkan pendapatannya kepada Pemerintah Indonesia. Selain itu, mereka juga menyatakan siap melakukan negosiasi ulang menyangkut persentase royalti yang menjadi bagian RI, sekaligus akan melakukan divestasi sebagian sahamnya.

Jelas, semua yang diungkapkan Rozik semata-mata untuk mengkonter tuntutan Pemerintah RI selama ini. Seperti diketahui, sebelum ini pemerintah memaksa perusahaan-perusahaan tambang milik asing untuk melakukan negosiasi ulang menyangkut pembagian royalti yang terlalu kecil, pemakaian lahan yang terlalu luas, kewajiban mengolah bahan tambang di dalam negeri hingga terakhir menyangkut kewajiban divestasi.

Bahkan, keharusan divestasi ini dipertegas dengan turunnya Peraturan Pemerintah No 24/2012, yang diteken Presiden SBY 21 Februari lalu. Namun, ya itu tadi, tuntutan-tuntutan itu malah ditanggapi Freeport melakukan serangkaian roadshow ke media masa.

Dalam kunjungan-kunjungan tersebut manajemen menegaskan siap melakukan divestasi. Tapi, jumlahnya hanya 9,36% saham dan itu akan dilakukan melalui penawaran saham perdana di pasar modal (IPO). Ini jelas bertentangan dengan PP yang baru diteken presiden. Sebab di sana disebutkan bahwa perusahaan asing yang sudah beroperasi di atas 10 tahun mesti mendivestasi sahamnya sebesar 51%.

Selain itu, seuai dengan isi PP, divestasi harus dilakukan secara berjenjang. Pertama, saham yang akan dilepas harus ditawarkan kepada pemerintah pusat, Tapi kalau pusat tak berminat penawaran jatuh kepada pemerintah daerah, kemudian BUMN, BUMD dan terakhir yang berhak membeli adalah perusahaan swasta nasional.

Lantas kenapa malah IPO yang dipilih? Wallahualam. Yang jelas, sejak awal terlihat, ada upaya pemilik Freeport untuk menghindari tuntutan tersebut. Caranya macam-macam. Misalnya, dengan menyebutkan bahwa perusahaan masih membutuhkan investasi tambahan hingga 2021 sebesar US$6 miliar atau sekitar Rp54 triliun.

Harga saham yang akan dijual pun, entah bagaimana menghitungnya, ditetapkan cukup tinggi yakni Rp8 triliun untuk setiap 1%. Artinya, untuk saham sebanyak 41,64% (untuk menggenapi angka 51% karena yang 9,36% sudah dikuasai pemerintah), dibutuhkan dana Rp333 triliun lebih.

Lantas siapa yang akan membeli? Kita lihat saja nanti. Yang jelas, pemerintah tak mau mundur barang selangkah. Menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa, ada lima hal yang harus dirundingkan dengan Freeport. Selain menangkut royalti, perusahaanitu juga wajib membangun pengolahan di dalam negeri, menyesuaikan luas lahan yang dipakai dan melakukan divestasi. “Semuanya itu diatur dalam undang-undang kita," kata Hatta beberapa waktu lalu.

Dan seusai dengan aturan main, jika pemegang saham tak mau melaksanakan auran main tersebut maka mereka akan terkena sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian sementara hingga pencabutan izin usaha. 

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More